Let It Rain

Di dalam kereta yang kutumpangi setiap kali pulang sekolah, aku selalu melihat sosoknya. Cowok itu berdiri di tempat yang sama, 5 meter jauhnya dariku, sedang bersandar disisi yang kosong. Tubuhnya tinggi tegap dan mungkin hanya selisih 2 jengkal dibanding tubuhku. Matanya yang hitam berkilau sesekali menengok ke arah jendela. Tas kulit berwarna hitam dipegang dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya disembunyikan di dalam saku celananya. Rambutnya yang dicat cokelat keemasan betul-betul cocok dengan kulitnya yang putih cemerlang. Dari seragam sekolah yang dipakainya aku bisa mengenali kalau itu milik siswa dari salah satu sekolah terfavorit di kota ini.



Selama sebulan ini aku selalu bertanya-tanya dan ingin tahu siapa dia. Aku ingin tahu siapa namanya dan mengenalnya akan tetapi aku tak memiliki keberanian. Bahkan sekedar menyapanya pun tidak. Lidahku terkunci rapat setiap kali pandangan kami bertemu. Mukaku langsung saja berubah semerah tomat dan langsung kupalingkan agar dia tidak menyadarinya. Ini pertama kalinya terjadi sepanjang enam belas tahun hidupku di dunia ini, dadaku berdebar-debar melihat seorang cowok. Apa ini yang namanya cinta pertama?



“Nina… Nina…,”



Suara itu memecahkan lamunanku.



Tangan kananku yang sedari tadi menyangga wajahku langsung terjatuh ke meja, membuatku seakan baru terbangun dari mimpi panjang. Di sampingku duduk seorang gadis manis berambut hitam dengan style bob pendek, sedang tersenyum sambil memandangiku yang nampak kacau. Ayu namanya, teman sebangkuku. Dia berbaik hati membimbingku menjadi murid baru selama sebulan ini. Sebagai ketua kelas, dia sangat disegani semua orang, pintar dalam pelajaran, supel, dan juga cantik. Aku sering berpikir kalau tak ada satu cowokpun yang tidak mau punya pacar seperti dia. Kadang aku merasa iri karena aku berbeda sekali dengannya, tidak menarik, penyendiri, sungguh biasa saja.



“Lagi mikirin apa sih?” tanyanya ingin tahu.



“Mmm….,” aku ragu-ragu untuk mengatakannya. Aku terdiam sejenak sambil menarik nafas perlahan. Jantungku kembali berdetak cepat setiap kali mengingat sosok cowok itu.

Ayu mengerutkan dahinya dan kelihatan mendesakku untuk mengatakan apa yang sedang ada di pikiranku sekarang. Ia pun tersenyum lagi. Dicondongkan tubuhnya ke arahku.



“Pasti mikirin cowok. Iya kan?” Ayu tersenyum nakal.



“Eh… i-itu…,” suaraku sedikit bergetar. Aku masih bingung harus mengatakannya atau tidak.



“Jadi siapa namanya?” tanyanya lagi sambil mengerlingku, membuat wajahku memerah.



“Aku tidak tahu..” jawabku pelan sambil mengangat kedua bahuku. Kukatupkan kedua bibirku dan aku berusaha meyakinkannya dengan bahasa mataku. “Aku tidak tahu siapa namanya”



Ayu menghela nafas terlihat kecewa mendengar jawabanku. Dia menaikkan alisnya terlihat setengah tidak percaya. “Memangnya kalian belum saling bicara?”



Aku menggeleng saja menjawab pertanyaannya. “Jangankan bicara, bilang “Hai” saja tidak,” aku tersenyum hambar.



“Dasar Nina,” Ayu terlihat gemas lalu mengacak-ngacak rambutku. “Ayo dong, kalau dia belum mulai duluan, kau saja yang memulainya. Gimana mau jadian kalo kenalan saja belum. Nanti diambil cewek lain baru tau rasa loh,” gadis itu memberengut.



“Biar saja, mungkin belum jodoh,” jawabku pasrah.



“Ninaaaaaaaaa!!!!”

. . . .



Sore itu langit terlihat mendung. Kupercepat langkahku agar bisa sampai ke stasiun. Tiba-tiba saja setitik air menetes dan mengenai atas kepalaku, membuatku setengah bergidik. Menyadari sudah mulai gerimis, kuputuskan untuk berlari sebelum hujan turun dengan derasnya. Akan tetapi…



“BRUK” Secara tak sengaja aku bertabrakan dengan seseorang. Tubuhku langsung saja terpental dan jatuh ke tanah. Aku mengernyit kesakitan, tapi untung saja tidak ada luka yang berarti.



“Kau tidak apa-apa? Biar kubantu,” suara itu membuatku terkesiap. Aku pun mendongak ke sosok yang ada di hadapanku. Senyumannya membuatku terdiam beberapa saat. Rambutnya yang cokelat keemasan, matanya yang hitam bersinar dengan bibir tipis yang merekah di wajahnya membuatku seakan terhipnotis. Dia adalah cowok yang sama, yang selama ini selalu hadir di pikiranku.



“Hei, apa kau terluka?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah agak kebingungan.



“Ah..,” akhirnya aku kembali dalam kesadaranku. “Ti-tidak apa-apa,” jawabku terbata-bata. Aku menelan ludah dengan masih memandangi wajah tampan yang ada di depanku. Pelan-pelan aku bangun dan kutepuk-tepuk ujung rokku agar bekas tanah yang menempel hilang.



Dan…. “BRUSSSSSSSS” , hujanpun turun dengan derasnya, mengguyur tubuh kami berdua. Tanpa bicara apapun, cowok itu langsung meraih tanganku dan mengajakku berlari ke toko kue yang jaraknya tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku tak mampu berkata-kata. Mulutku lagi-lagi terkunci rapat.



“Maaf ya, tiba-tiba menarikmu ke sini,” katanya sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.



“Ya,” jawabku lirih.



“Kau betul-betul tidak terluka habis kutabrak tadi?” tanyanya ingin tahu.



Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala menjawabnya. “Betul tidak apa-apa”



“Ya sudah kalau kau bilang begitu,” ia mengangkat kedua alisnya. “Tapi sebagai permintaan maaf membuatmu jatuh, dan akhirnya kehujanan juga,” kali ini kami berdua tertawa bersamaan, “kutraktir makan ya. Lumayan, sambil menunggu hujan reda.”



Aku mengangguk mengiyakan ajakannya.



Aku masuk duluan ke dalam toko kue yang bernama Choco Ichigo, disusul cowok itu. Kami mengambil dua tempat duduk yang berada di tengah, dekat dengan jendela kaca toko. Tak lama kemudian seorang pelayan cantik dengan baju maid warna pink dan apron putih yang menghiasi bajunya datang dan menyodorkan menu pada kami. Aku pun tertarik untuk mencoba strawberry cheese cake ditambah dengan secangkir lemon tea hangat sementara cowok itu hanya memesan secangkir hot chocolate.



“Oh ya, siapa namamu,” tanyanya setelah maid itu pergi. “Sepertinya kita pernah ketemu ya?” cowok itu terlihat berusaha mengingat-ingat.



Aku tersenyum mengetahui dia ternyata menyadari keberadaanku.



“Nina,” jawabku. “Panggil saja aku Nina. Kita memang sering berada di kereta yang sama waktu pulang sekolah,” jelasku padanya.



“Ah iya aku baru ingat,” cowok itu menepuk dahinya seakan telah mendapat penerangan. “Iya juga ya, kita sering satu kereta,” kali ini dia mengacak-ngacak rambutnya sambil tertawa riang. “Kebetulan sekali kita ketemu dan bisa kenalan. Namaku Rei, “ ia nyengir lebar.



Sore itu adalah sore terpanjang selama hidupku. Kami berdua bercengkerama dan saling bercerita satu sama lain, walaupun porsi ceritanya lebih banyak daripada ceritaku.



Rei ternyata hanya setahun lebih tua dariku. Dia sekarang duduk di kelas tiga SMA dan memiliki sebuah band yang terdiri dari teman-teman sekelasnya yang berjumlah lima orang. Di keluarganya, Rei adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang umurnya lima tahun lebih tua darinya, yang saat ini telah menikah dan tinggal di kota sebelah.



“PRAKK”. Aku mendengar bunyi benda ringan jatuh ke bawah meja kami. Aku menunduk dan memungut benda yang berada tepat di dekat kakiku. Ternyata sebuah payung. Payung berwarna cokelat bening miliknya.



“Ini milikmu..,” kataku sambil menyerahkan payung itu ke depannya.



“Ah, iya terimakasih,” jawab Rei sambil mengunyah sepotong waffle yang baru saja dipesannya.

Aku tak menyangka ternyata cowok yang agak serampangan seperti dia bisa membawa payung.



“Kenapa? Aneh ya kalo orang seperti aku bawa-bawa payung?” katanya mengejutkanku, seakan-akan tahu apa yang ada di pikiranku saat ini. “Yah, sebetulnya aku sering lupa sih. Tapi pacarku sering mengingatkanku untuk membawa payung, apalagi di…”



“Pacar?” belum sempat dia meneruskan ucapannya, aku langsung memotongnya dengan cepat.



“Ya, pacarku,” jawabnya dengan santai, kali ini sambil meminum hot chocolate keduanya. “Dia itu sudah seperti ibu-ibu, mengatur kebutuhanku. Cerewetnya juga sama seperti ibuku,” ia bercerita sambil mencondongkan tubuhnya ke depanku.



Hatiku mencelos mengetahui kalau dia sudah punya pacar. Aku memaksakan tersenyum mendengar semua cerita mengenai pacarnya itu.



“Sebetulnya dia cewek yang baik, tapi dia terlalu perfeksionis. Payung ini saja dia jejalkan ke dalam tasku. Katanya sih biar aku tidak lupa.” Rei mulai menghela nafas dan menengok keluar melewati jendela kaca di antara kami. “Hmm.. aku sendiri juga heran bagaimana kami bisa jadian. Padahal sifat kami bertolak belakang. Kadang-kadang kami juga suka bertengkar karena hal-hal kecil. Kata orang kami pasangan serasi, tapi sebenarnya…… “ dia terdiam sejenak.



Semua yang diucapkannya membuatku merasa sangat tidak nyaman. Aku tidak suka ketika dia menyebut-nyebut gadis itu. Apakah aku sedang cemburu?



“Ah, hujannya sudah reda. Sebaiknya kita cepat-cepat ke stasiun,” kata Rei kemudian, memecahkan lamunanku. “Ayo, “ lagi-lagi dia meraih tanganku, membuat wajahku memerah.

. . .





Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empukku yang nyaman. Pandanganku menerawang ke langit-langit kamar selama beberapa saat. Kuraih ponsel yang terletak tak jauh dariku. Kulihat lagi sebuah nomor baru yang tadi kusimpan saat turun dari kereta. Nomor ponsel milik Rei. Kutekan pilihan menulis pesan baru..



“Hai, selamat malam. Sudah sampai?”

Aku mempertimbangkan mau mengirim sms itu atau tidak. Tapi langsung kutekan tombol delete dan menghapus isi pesan itu.



Aku terdiam. Kupandangi lagi nomor Rei. Kutulis lagi sebuah pesan baru.



“Sedang apa Rei. Ini aku Nina, masih ingat ‘kan?”

“Ahhhhh… hapus hapus..” gerutuku. “Masa aku sms dia duluan. Kalau dia mengira aku suka dia gimana,,,” Kuhela nafas dalam-dalam.



Aku pun bangkit dan duduk bersila di tengah kasur sambil terus memandangi ponselku.



“Nina bodoh! Bodoh! Bodoh!” dengusku lagi.



Namun tiba-tiba ponsel yang ada ditanganku mengeluarkan nada yang menandakan pesan masuk. Langsung saja kubuka dan betapa berbunganya hatiku mengetahui bahwa pesan itu ternyata dari Rei. Hampir saja aku bersorak kegirangan, tapi kutahan mengingat hari sudah malam. Aku tidak mau membuat heboh seisi rumah hanya karena sebuah sms.



“Hai, Nina. Aku baru sampai di rumah. Sekali lagi maaf ya soal tadi.”

Begitulah isi sms yang kuterima. Dengan bersemangat, akupun langsung membalasnya.



“Tidak apa-apa. Aku yang seharusnya berterimakasih sudah ditraktir makan.”

“Yak, terkirim..,” kataku dengan ceria.



Aku kembali merebahkan diri di kasur empukku sambil menatap sms yang baru saja kuterima dari Rei. Jantungku berdebar-debar. Perasaaanku begitu meluap-luap dan hampir saja meledak. Kuambil sebuah bantal dan kupeluk erat-erat. Kusembunyikan wajahku yang saat ini sedang memerah.

Ponselku kembali berbunyi, dan ternyata Rei mengirim pesan lagi. Cepat-cepat kubaca dan kubalas saat itu juga. Sebuah senyuman tersungging di wajahku. Aku tak sanggup melukiskan perasaanku saat ini. Yang jelas aku betul-betul sangat gembira. Akhirnya malam itu kami saling mengirim pesan hingga tak terasa jarum jam menunjukkan angka satu.

. . . .





“Hayo semalam habis ngapain?” Tanya Ayu ingin tahu.



Aku diam saja, masih enggan menjawab pertanyaannya. Kuletakkan kepalaku diatas meja sambil berusaha menambah waktu tidurku yang kurang.



“Nina, diem aja ih..,” kata Ayu gemas sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. “Matamu sudah kayak panda tuh. Hayo, habis begadang pasti..” dengusnya kesal. Ayu melipat kedua tangannya di depan perutnya sambil memberengut.



Aku meliriknya sekilas dan memberikan senyuman termanisku padanya.



“Bibirmu nggak usah maju dua senti gitu, nanti nggak cantik lagi loh,” godaku, masih setengah mengantuk. “Iya..iya.. aku cerita,” kataku lagi sambil berusaha membetulkan posisi dudukku agar kembali tegap walaupun dengan sangat malas. “Semalam aku sibuk sms-an dengan cowok yang ada di kereta itu. Puas, nona?”



“Heeeee……,” Ayu ternganga tak percaya. “Cowok taksiranmu itu?”

Aku mengangguk lemah.



“Jadi kemarin kalian kenalan?”

Aku mengangguk untuk kedua kalinya.



“Wah, kemajuan dong,” Ayu tersenyum senang. Wajahnya berubah menggodaku. “Jadi kapan nih jadiannya?” matanya setengah menyipit seakan menuntutku.



“Jadian?” aku mendengus pelan, lalu tertawa hambar. Kusembunyikan kepalaku di dalam kedua tanganku yang terlipat di atas meja. “Aku bermimpi kalau bisa jadian dengannya. Cowok itu sudah punya pacar,” jawabku lemah.



“Ap-apa?” gadis itu setengah berteriak mendengar penjelasanku. “Jadi cowok itu sudah punya pacar. Yah, sayang sekali.” Ayu pun ikut-ikutan terduduk lemas di sampingku. Wajahnya yang tadi ceria langsung berubah lesu.



“Tapi sepertinya hubungan antara dia dan pacarnya tidak berjalan lancar. Katanya sih sering bertengkar. Entahlah,” kali ini aku menoleh kearahnya.



“Hmm…” Ayu menaruh dagunya di atas punggung tangan kanannya, seolah memikirkan suatu rencana. “Kalau begitu, dekati saja cowok itu terus. Siapa tahu mereka putus, ya kan?” matanya berkilat licik. “Jangan menyerah Nina,” katanya sambil menepuk bahuku.



Kadang-kadang aku agak takut dengan apa yang ada di pikiran Ayu. Aku tak menyangka kalau cewek seperti dia bisa punya pikiran seperti itu.



“I-iya kali,” jawabku asal-asalan. “Tapi..,” kali ini aku menelan ludah sebelum mengatakannya. Aku takut sebentar lagi akan menjadi orang jahat. “Tapi apa nanti aku tidak dicap perebut pacar orang?” tanyaku agak takut.



“Hmm…” Nina menyandarkan punggungnya agar bisa duduk lebih nyaman. “Gimana ya. Kalau memang cowok itu sayang dengan pacarnya, pasti dia tidak akan tergoda rayuan cewek lain dong. Lagian kamu sendiri tadi bilang kalau mereka sering bertengkar. Berarti dia tidak bahagia dong dengan pacarnya, “ jawabnya enteng. “Jadi Nina, saranku adalah perjuangkan cintamu ya!” katanya dengan mata berapi-api yang kujawab dengan sebuah senyuman yang dipaksakan.



Aku terdiam dan berpikir.



“Mungkin apa yang dibilang Ayu benar. Aku harus memperjuangkan cintaku, “ kataku dalam hati.







Sore itu aku sengaja tidak pulang cepat-cepat padahal langit sudah terlihat muram. Malahan sebaliknya, kuperlambat langkahku sambil sesekali melihat ke sekeliling, berharap bisa berjumpa lagi dengan Rei. Tuhan seakan mengabulkan permohonanku. Tak lama kemudian Rei datang sambil berlari ke belakang ku.



“Hai Nina, ketemu lagi, “ sapanya sambil menepuk bahuku dengan pelan. Cowok tampan itu tersenyum padaku, membuat wajahku terasa panas.



“Eh, hai Rei,” jawabku terbata-bata. “Langitnya gelap.”



“Iya, sepertinya mau hujan lebat,” ia mengangguk sambil mendongak ke langit yang bertambah gelap.



Terdengar suara gemuruh menandakan hujan akan turun dengan derasnya seperti kemarin. Tanpa basa basi lagi Rei menarik tanganku pergi ke tempat yang sama seperti kemarin. Toko kue Choco Ichigo. Aku tak mampu berkata-kata, hanya menuruti kemana langkahnya membawaku pergi.



“Tidak apa-apa kan kita berteduh disini lagi?” Rei nyengir dengan sangat lebar.



“Hmm..” aku tersenyum sembari mengangguk mengiyakan.



Rei memesan menu yang sama seperti kemarin, secangkir Hot Chocolate dan wafel ice cream, begitu pula denganku.



Sepanjang pembicaraan kami berdua, jantungku berdetak tak beraturan. Hujan ini betul-betul membawa keberuntungan bagiku karena kami bisa bersama seperti sekarang.



Ponsel Rei yang ditaruhnya di meja bergetar dan menyala, menghentikan obrolan kami sementara. Iya melirik sekilas, melihat nama siapa yang tertera di layar. Raut wajahnya yang semula ceria berubah menjadi dingin. Iya mematikan panggilan itu, akan tetapi kembali ponselnya bergetar. Dari sikapnya aku tahu kalau itu pasti dari orang yang sama.



“Sebentar ya,” katanya sambil berlalu pergi menjauh dari meja kami.



Aku hanya bisa diam dan menikmati potongan terakhir cheese cake di piringku. Kupalingkan wajahku ke luar sambil melihat keadaan. Yang ada hanya hujan yang semakin deras dan belum terlihat tanda-tanda mau berhenti. Jarum jam pun berjalan mendekati angka lima.



Sekitar sepuluh menit kemudian Rei kembali, kali ini dengan wajah yang terlihat sangat kacau. Dia duduk dan langsung menenggelamkan kepalanya di antara kedua lengannya yang ditegakkan di meja. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya suara nafas saja yg kudengar. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa-apa. Keberanian untuk bertanyapun sudah sirna ketika melihat bahasa tubuhnya yang seperti itu. Aku tidak ingin keadaan bertambah runyam hanya karena pertanyaan bodohku. Dengan takut-takut kuulurkan tangan kananku ke arahnya. Antara iya dan tidak, kusentuh bahunya perlahan. Saat ujung jariku akan mengenai pakaiannya, tiba-tiba tangannya meraih tanganku. Tanpa menengok ke arahku sekalipun dia tetap memegang erat telapak tanganku yang sekarang berkeringat.



“Ma-maaf,” kataku lemah.



Selama beberapa saat dia tidak bersuara, hanya menangkupkan tanganku ke atas kepalanya dengan tangannya. Kemudian…



Rei mendongak ke arahku dan melemparkan senyuman kecil.



“Maaf,” katanya lirih, membuatku sedikit terkejut. “Bagaimana….,” ia memulai kata-katanya dengan ragu-ragu. “Nina, bagaimana kalau kita karaoke di sebelah?” mintanya, masih dengan memegangi tanganku erat-erat seakan memohon padaku.



Kutengok langit di luar yang berangsur-angsur membaik, bahkan hujan pun sudah menjadi titik-titik gerimis kecil yang tidak terlalu berarti. Kupandangi lagi wajahnya yang kelihatan memelas. Kupikir tidak apa-apa kalau hari ini aku pulang sedikit telat. Keberikan senyumanku padanya dan kuanggukkan kepalaku tanda setuju. Wajahnya berubah ceria mengetahui jawabanku, dan dia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan yang diidam-idamkannya.



Setelah dia membayar semua tagihan, kami pergi ke tempat karaoke yang terletak di sebelah “Choco Ichigo”. Di depan terpampang sebuah neon box yang bertuliskan “Doremi Kan” dengan lambang sebuah microphone pada huruf “I”-nya. Tempatnya tidak terlalu besar bila dilihat dari luar. Akan tetapi ketika sudah masuk ke dalam, ternyata ruangannya memanjang dan terasa begitu luas. Ada beberapa jenis ruangan yang ditawarkan, namun kami cukup mengambil yang paling standart. Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik mengenakan seragam yang sama seperti operator yang melayani proses registrasi kami datang dan tersenyum ramah. Ia pun mempersilahkan kami mengikutinya menuju ke ruangan yang akan aku dan Rei tempati. Kami berjalan mengekor di belakang perempuan itu hingga sampai ke depan pintu dengan angka tujuh belas terpasang di atasnya. Perempuan itu masuk duluan dan mempersiapkan microphone serta mengecek segala sesuatunya. Setelah selesai, tinggal aku dan Rei saja berdua akhirnya.



Aku menyapu seisi ruangan dengan pandanganku. Ruangan yang kurang lebih berukuran 3 x 3 meter itu sudah seperti tempat karaoke di rumah, dengan sound system yang bagus, dan dihiasi bola lampu warna warni yang bergerak memutar tak beraturan. Baru pertama kalinya bagiku masuk ke tempat seperti ini, makanya aku juga masih tidak mengerti apa yang harus kulakukan saat Rei menyuruhku memilih lagu. Caranya saja aku tidak tahu.



“Baik, kalo begitu aku duluan ya,” katanya sambil memilih-milih lagu di monitor.



Aku mengangguk lemah sambil bersandar nyaman di atas sofa empuk berwarna kelabu itu. Yang kulakukan hanya diam, sambil mengamati semua hal yang dilakukan Rei. Perasaanku saat ini lega sekaligus senang walau hanya melihatnya saja, melihatnya tersenyum riang dan menyanyi dengan penuh semangat. Entah disembunyikan dimana kegalauan hatinya tadi.



Tak terasa setengah jam berlalu begitu saja. Rei duduk dengan nafas tersengal-sengal dan masih terbahak-bahak setelah menyanyikan lagu terakhirnya tadi yang begitu kocak.



“Ayo Nina. Masa dari tadi diam saja, “ katanya mencibirku.



“Hmm…”, aku mendengus pelan. “Aku tidak tahu mau nyanyi lagu apa,” aku mengangkat bahuku dengan enggan.



“Apa saja. Doraemon kek,” katanya, setengah menyeringai.



Aku memukul bahunya dengan pelan dan dibalas dengan tawa yang keras darinya. Kupikirkan sejenak dan kuingat satu lagu yang sangat kusukai. Kupilih salah satu lagu milik Kokia yang berjudul “Aishiteru Kara”. Kuambil microphone dan musik pun mulai mengalun.



As the evening sun stains the sky

The town becomes a shadow picture in the distance

We gaze at each other

Carry us to a twilight land



I love you, I love you

This overwhelming feeling is a fountain of tears

If your feelings don’t come back

At least pretend not to notice

Until these tears dry



(“Apa kau mendengar perasaanku ini Rei,” kataku dalam hati. “Perasaan yang tak terbalas…”)



Rei terdiam mendengar nyanyianku yang begitu sendu. Matanya tak lepas menatap wajahku terus menerus dan kelihatannya pikirannya menerawang jauh entah kemana.



More and more nights when I can’t see you

A wind of commotion stirred in my heart



Shaking the grass and the trees as it swept through



I love you, I love you

This overwhelming feeling is a fountain of tears

Don’t be sad anymore

Don’t make detours for me

I can say goodbye



Irama musik telah berhenti, dan aku cuma bisa kembali duduk dalam diam.



“Lagu itu…,” kata Rei lirih. Bibirnya sedikit bergetar. “Dulu dia juga pernah menyanyikannya untukku. Kami sering ke sini dan dia selalu saja memilih lagu ini. Dia….,” mata Rei menatapku, tapi tatapan yang kosong, hampa. Matanya memang tertuju padaku, tapi aku tidak bisa merasakan kalau dia sedang berbicara padaku. Dia seakan berbicara pada dirinya sendiri.



Perasaanku begitu membuncah. Aku tak sanggup lagi menahannya. Aku berteriak memotong ucapannya barusan.



“Hentikan!” jeritku sambil menutupi telingaku dengan kedua tangan mungilku. “Dia dia dia saja! Aku tidak suka kamu terus menyebut tentang dia!” Kuraih ujung lengan kanan kemejanya. Aku tak lagi mampu mengendalikan semua yang kuucapkan. “Dia tidak membuatmu bahagia kan, jadi kenapa masih saja selalu kau bahas tentang dia! Lihat aku Rei, aku sayang kamu!!”



Jantungku berdetak sangat cepat. Hatiku mencelos, seakan merosot hingga ke perut. Aku menyesali semua yang kukatakan barusan. Tenggorokanku tercekat, tak mampu lagi bersuara. Pandangan kami bertemu, akan tetapi aku tak kuasa melihat matanya, mata dengan sorot yang begitu menusuk. Tanganku terkulai lemah, tak lagi memegang lengan kemejanya.

. . . .





Kujatuhkan tubuhku ke atas kasur, menikmati kehangatan kamarku. Dadaku berdebar-debar, tanganku masih berkeringat dingin. Mataku menerawang jauh menatap langit-langit. Pelan-pelan kusentuh bibirku dengan ujung jari-jariku. Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja kualami barusan. Aku berguling ke sisi sebelah kanan, menggambil bantal dan menutup wajahku yang kian memanas. Kupejamkan mata dan kembali kukumpulkan setiap kepingan kejadian yang baru kualami tadi sore.



Saat itu Rei betul-betul terkejut mendengar pengakuan cintaku. Dari raut wajahnya bisa terlihat kalau dia setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulutku.



“Aku tak pandai mengungkapkan isi hati pada orang yang kusukai,” kataku lirih. “Tapi aku sungguh tidak tahan lagi, Rei. Mungkin kau akan membenciku sekarang,” kugigit ujung bibirku dengan penuh kekecewaan. “Tapi…,” kuraih kembali ujung krah bajunya dengan kedua tanganku. “Tapi aku sungguh-sungguh dengan perasaanku. Melihatmu terluka, hatiku sakit, perih…”



Tak terasa, setitik air mata mengalir di wajahku. Kami diam seribu bahasa, hanya bicara lewat tatapan mata. Matanya kulihat kian melembut dan bibirnya bergerak seakan ingin bicara sesuatu tapi tak ada suara yang kudengar keluar. Hingga aku bisa merasakan tangannya menyentuh pipiku dan menghapus air mata yang terus menetes. Perlahan lahan kurasakan nafasnya mendekati wajahku dan tiba-tiba saja tanpa kusadari bibir kami sudah bersentuhan. Hangat dan lembut kurasakan. Ciuman pertama yang tak mungkin bisa kulupa sampai kapanpun.



Hal itu hanya merupakan awal dari perjalanan cintaku, karena sejak saat itu aku mulai berhubungan diam-diam dengan Rei. Kami bertemu hampir setiap hari melewatkan waktu sepulang sekolah. Jalan-jalan menikmati keramaian kota, bermain-main di Game Center, karaoke, makan, dan segala hal yang mengasyikkan. Walaupun rasanya menyenangkan tapi tak bisa kupungkiri bahwa hatiku diliputi perasaan bersalah karena sudah menjadi orang ketiga.

. . . .





“Ayu, apa kau tidak apa-apa? Kelihatannya lelah sekali,” tanyaku, usai pelajaran sekolah terakhir. Kutatap wajah teman sebangkuku yang kelihatan sangat lemas dan berantakan. Tidak biasanya dia seperti itu.



“Iya, aku terlalu sibuk mengurusi acara festival sekolah,” jawabnya lemah. “Aku ingin jalan-jalan, tapi tahu sendiri kan kegiatanku sepulang sekolah seperti apa.”



Gadis itu menghela nafas dalam-dalam, menaruh kepalanya di atas meja sambil melihat ke arahku. Dia cuma bisa menaikkan alisnya dan memberengut.



“Aku kangen pacarku. Sudah lama kami tidak jalan berdua. Aku merasa bersalah karena menomorduakan dia…”



“Hmm,, ya, mungkin dia bisa mengerti,” jawabku, bersimpati.



“Oh ya, bagaimana perkembanganmu dengan cowok itu?” kali ini Ayu berubah serius, dan terlihat bersemangat untuk mendengarkan ceritaku. Terlihat dari posisi duduknya yang sekarang tegak dan condong ke depan menungguku bicara.



“Kami…” aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah aku harus bicara jujur. Tadinya aku ingin menceritakan semuanya, akan tetapi hatiku tidak mengizinkannya. “Biasa saja sih, kadang-kadang kami jalan berdua, bertemu terus makan kue di tempat biasa, ngobrol..”



“Hah? Cuma itu saja?” Ayu menaikkan sebelah alisnya, terlihat kecewa mendengar penjelasanku.

“Lalu…,” tiba-tiba suaranya pelan setengah berbisik. “Apa kalian sudah jadian?”



“Ap-Apa?” kataku setengah berteriak, terkejut mendengar pertanyaannya yang langsung tepat sasaran. “Ti-tidak. Tidak mungkin kami jadian,” jawabku yang setengahnya masih disangsikan oleh Ayu. “Bagaimana aku bisa jadian kalo dia saja masih punya pacar.”



“Oh, kukira mereka sudah putus,” jawabnya enteng, sembari mengangkat bahunya.



“Ayuuu!!”



“Eh, kapan-kapan kita kencan ganda yuk,” ajak Ayu, setengah menggodaku. “Pasti asyik!”



“Ya, kita lihat saja,” jawabku terbata-bata dengan wajah merona.







Seperti biasa, sore itu aku dan Rei bertemu dan menghabiskan waktu bersama selama beberapa saat. Kali ini aku menemaninya pergi ke toko alat musik. Rupanya dia sedang mencari beberapa benda yang akan digunakan untuk keperluan bandnya.



“Nina, sabtu ini bisa kan datang ke lomba band di Taman B. Kami mau main disana,” katanya penuh semangat, sambil memilih-milih senar gitar yang ada di etalase.



“Sabtu ini ya,” ucapku lirih. “Tapi sabtu ini ada festival sekolah…” tambahku, setengah kecewa.



“Datang sore juga tidak apa-apa, bandku juga sepertinya dapat giliran manggung sekitar jam tiga ke atas,” kali ini dia menoleh ke arahku. “Ayolah,” Rei setengah memohon.



“Baiklah,” kuberikan senyuman kecilku padanya. “Tapi…..,” kembali aku terdiam.



“Kenapa lagi?” tanya Rei tak mengerti. “Sudah ada janji dengan orang lain?”



“Bukan itu,”potongku cepat. “Apa pacarmu tidak datang juga? Kalau dia ada, sebaiknya….”



“Tidak,” jawabnya lugas. “Dia tidak akan datang,” suara Rei terdengar begitu dingin dengan masih memandangi senar gitar di etalase yang tadi.



“Ba-baik, aku akan menyempatkan diri datang ke sana dan memberimu semangat,” kataku terbata-bata, masih agak takut kalau Rei akan bertambah murung.



Ia pun langsung menoleh padaku dan mencubit kedua pipiku. “Itu baru anak baik,” katanya, dengan cengiran khasnya yang selalu membuatku tersenyum.

. . . .





Sabtu yang dinanti sudah hampir tiba. Jum’at malam aku menyibukkan diri membongkar isi lemari, memilih-milih baju terbaik yang akan kukenakan besok. Setelah melemparkan rok kotak-kotak berwarna merah ke atas kasur, lalu kaos putih bermotif strawberry di tengahnya, disusul dengan terusan selutut berwarna biru langit dengan renda-renda kecil di bagian leher, akhirnya kudapatkan pilihan yang cukup sesuai. Sebuah terusan yang manis, perpaduan antara warna putih dibagian atas, dan motif kotak-kotak merah maroon dengan garis berwarna hitam dibagian dada hingga sepuluh senti diatas lutut. Dibagian tengah terdapat tiga pita kecil yang berurutan dari atas ke bawah dan di tepi wok bagian bawah juga dihiasi renda-renda kecil berwarna hitam. Agar lebih serasi, kupadankan dengan legging berwarna hitam selutut. Selesai merapikan baju-baju yang berserakan dan menggantung baju pilihanku di depan lemari, tiba saatnya memanjakan tubuhku di balik hangatnya selimut tebal dan buaian kasurku yang nyaman.





Sabtu itu langit terlihat bersinar cerah, burung-burung pagi terdengar saling bersahutan dan beterbangan dengan riang. Kumasukkan baju gantiku ke dalam tas agar nanti sepulang sekolah aku bisa langsung pergi melihat lomba band Rei dengan penampilan yang terbaik.



Sesampainya di sekolah, suasana festival terlihat begitu semarak. Ada banyak stan yang menyediakan berbagai macam kegiatan, misalnya saja maid café dengan hidangan yang terlihat cukup lezat. Kemudian ada pertunjukan teater dari klub drama, parade band, dan banyak lagi.



Waktu berjalan begitu cepat hingga tanpa kusadari jarum jam sekolah perlahan-lahan bergerak menuju angka dua. Sudah waktunya untuk pergi pikirku. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi dan segera bersiap-siap untuk pergi ke tempat Rei. Setelah merapikan rambut yang kuikat ke samping, dan melihat penampilan di cermin untuk terakhir kalinya, aku bergegas keluar menghindari keramaian teman-teman yang lain.





“Hai Nina,” sapa Rei dengan wajah sumringah saat melihat kedatanganku ke backstage.



“Aku tidak telat kan?” tanyaku dengan nafas agak tersengal-sengal.



“Tidak,” dia menggeleng, tetap tersenyum. “Masih satu band lagi yang akan tampil baru giliran kami,” jelasnya.



“Mana temanmu yang lainnya?” aku mengerutkan dahi melihatnya hanya ditemani seorang cowok kurus memakai topi yang tingginya hampir sama dengan Rei sedang tersenyum padaku.



“Ah, tadi sih katanya mau beli minuman. Nggak tau nih kok belum kembali,” Rei mengangkat setengah bahunya. “Oh iya, kenalkan ini temanku Tooru, dia drummer band kami,” jelasnya sambil menoleh ke arah cowok tadi.



“Salam kenal,” sapaku sambil setengah membungkukkan badan kepadanya.



“Salam kenal,” balasnya dengan perlakuan yang sama denganku.



Tiba-tiba saja cowok yang bernama Tooru itu berbisik pada Rei, dan menyebabkannya tersenyum lebar dan balik menyikut Tooru. Aku hanya bisa mengerutkan dahi, bingung. Langsung saja Tooru menjauh dan ia pamit pergi ke toilet.



“Ada apa?” tanyaku ingin tahu, setelah Tooru pergi menjauh.



“Katanya….,” dia mendekat kemudian berbisik di telingaku. “Kok bisa ya aku punya kenalan cewek semanis kamu,” katanya lirih, membuat pipiku merona merah.



“Bohong,” ucapku terbata-bata dengan mencubit lengannya.



“Tapi betul kok, hari ini kamu manis sekali,” Rei tersenyum nakal sambil mengusap kepalaku.



“Jangan mulai di sini, kan tidak enak kalau dilihat orang,” kataku, malu



Dari kejauhan kulihat ada seorang laki-laki memanggil Rei untuk datang padanya. Ia memberikan isyarat agar Rei bergegas. Rei pun menoleh ke arahku dan pamit meninggalkanku sebentar karena harus melakukan persiapan sebelum manggung. Aku mengangguk dan membiarkannya pergi.



Menit demi menit berlalu, dan tiba giliran Rei dan teman-temannya tampil di depan kerumunan penonton. Sebelum ia menyapa semua orang yang tengah melihat mereka sekarang, Rei sempat mengerlingku sekilas yang sedang berdiri melihat mereka dari samping panggung.



“Untuk seorang gadis yang telah mengisi hari-hariku yang baru, lagu ini kupersembahkan untukmu,” katanya memulai.



Dan ketika suara drum mulai ditabuh, suara semua orang terutama cewek-cewek riuh terdengar. Aku tak menyangka kalau ternyata mereka sudah memiliki fans tersendiri. Ya, aku baru menyadari kalau aku belum mengenal Rei terlalu jauh. Kehidupannya, keluarganya, teman-temannya.



Selama sebulan kami jalan berdua, tak sekalipun dia bercerita mengenai hal-hal itu. Yang kutahu hanya apa yang terlihat. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Rasanya memang bahagia bisa berhubungan dengannya, walau cuma diam-diam. Tapi apa kebahagiaan seperti ini yang kuinginkan. Atau aku menjadi terlalu serakah saat ini. Harusnya sudah cukup tapi ternyata tidak. Batinku bergejolak.



Lagu kedua selesai diperdengarkan oleh Rei dengan suaranya yang sangat menentramkan hati. Ia disusul dengan keempat temannya yang lain kembali ke backstage. Aku datang dan memberikan selamat kepada mereka semua.



“Terimakasih Nina-chan,” kata Tooru dengan senyuman yang begitu tulus.



“Eh, Rei, apa kau mau kopi, biar aku belikan di luar?” tanyaku padanya yang kelihatan setengah berkeringat.



“Boleh deh,” kata Rei dengan cengiran yang lebar. “Terimakasih ya…”



Aku balas tersenyum dan berbalik pergi menuju keluar mencari stan penjual minuman. Selesai mendapatkan dua gelas kopi hangat di tanganku, aku kembali sambil masih memasang senyuman riang di wajah. Tapi senyuman itu berangsur-angsur memudar karena ketika hampir sampai, kulihat dari kejauhan ada seorang cewek yang datang dan memeluk Rei. Kulihat wajah Rei mendadak pucat ketika melihat kedatangannya. Namun bukan itu saja. Tenggorokanku rasanya tercekat mengetahui apa yang terjadi. Cewek itu mencium Rei tepat di bibirnya.



Kuhentikan langkahku dan kuputuskan bersembunyi di balik tembok yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak begitu cepat. Aku tak mempercayai apa yang barusan kulihat. Mukaku menjadi merah padam karena begitu terkejut dan terpukul mengetahui siapa pacar Rei yang sebenarnya. Dia adalah teman sebangkuku sendiri. Teman yang selama ini selalu menjadi tempat curahan hatiku. Teman yang selama ini selalu baik terhadapku.



Kulirik lagi sekilas, dan kuamati betul-betul wajah Ayu yang sedang tersenyum pada Rei. Tanganku gemetaran dan basah karena keringat dingin. Secara tak sengaja aku meremas gelas kopi yang ada di tanganku.



“Ouch,” erangku, ketika merasakan panasnya air kopi mengenai kulit tanganku. Dua gelas kopi yang ada di tanganku langsung jatuh dan mengeluarkan bunyi ringan, membuat Rei tersadar kalau ada aku di dekat mereka.



Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku menekap mulutku yang mulai bergetar dengan kedua tanganku. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari pergi meninggalkan mereka. Pergi sejauh aku bisa, terus dan terus melangkah. Pikiranku kacau. Air mata itu sudah tak mampu terbendung lagi. Bersamaan dengan suara gemuruh di langit dan air hujan yang langsung mengguyur, air mataku mengucur dengan derasnya. Selama enam belas tahunku, baru kali ini aku merasa begitu hancur, begitu jahat. Aku sudah menjadi orang ketiga di antara hubungan percintaan teman baikku.



“Nina, apa yang sudah kau lakukan,” kataku pada diriku sendiri, sambil masih terus berlari tanpa tujuan. Aku tak mampu menyalahkan orang lain karena semua adalah akibat perbuatanku sendiri. “Hujan, turunlah yang deras, sehingga orang lain tak mampu melihat air mata ini…”



Dinginnya air hujan yang membasahi tubuhku masih belum mampu mendinginkan perasaan hatiku. Aku terjatuh tepat di depan sebuah toko alat elektronik dengan beberapa buah televisi model terbaru terpajang di depan etalase.



“Berikut adalah lagu terbaru yang masuk ke tangga lagu minggu ini. Chihiro Oitsuka-Infection” begitu kulihat seorang VJ acara musik yang sedang siaran di salah satu stasiun televisi. VJ cowok itu sudah hilang, digantikan dengan gambar sebuah pemandangan dengan seorang wanita cantik berpakaian hitam-hitam. Musik yang begitu sayu dan sendu sayup-sayup terdengar, hingga sang penyanyi wanita mulai menyanyikan tembang terbarunya.



"Somehow I must answer it well"

Then, the weed grows on my tongue

The wind that passes by heartbeat

takes away someone's mask

In the night I sit down as if I'm dead'

Exploded and spattered

these pieces of heart

sparkles everywhere, but

since when have I become so weak?



Aku hanya bisa tersenyum kecut, menertawakan kebodohanku sendiri. Kutengadahkan wajahku ke atas, membiarkan air hujan menerpa. Tak mampu lagi berbuat apapun, tak mengerti apa yang akan kulakukan selanjutnya. Hatiku memang sudah hancur berkeping-keping.



Are you pretending as if you don't care

the fact that your legs become frozen

My pathetic illness

kept exacerbating



In the night I realize this infection

Exploded and spattered

these pieces of heart

sparkles everywhere, but

since when have I become so weak?



I start to tremble

for every little fever

I don't even have a chance to win, but

I must wake up



Aku masih terduduk di tempat yang sama, dengan air hujan yang terus membuat tubuhku kebasahan hingga gemetaran. Perlahan-lahan aku bangkit dan memantapkan kakiku berpijak. Namun tiba-tiba tanpa kusadari sesuatu datang kehadapanku dan kurasakan sebuah pelukan hangat dari bahu yang begitu besar menyelimutiku.



“Bodoh!” katanya dengan suara parau.



Kudongakkan kepalaku untuk menatap wajahnya yang sama kacaunya denganku, atau malah lebih parah. Kudorong tubuhnya menjauh dariku, tapi ia tidak mau. Malahan pelukannnya semakin erat mendekap tubuhku.



“Lepaskan aku! Lepaskan aku” teriakku, sambil memukuli bagian manapun dari tubuhnya dengan lemah. Aku kembali terisak. Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk mulai bersuara kembali. “Kenapa Rei. Kenapa kau tidak bilang kalau pacarmu adalah Ayu. Kenapa!!!”



“Kau..kenal Ayu?” wajahnya berubah kaget. Tangannya meregang, dan kesempatan itu kugunakan untuk bisa lepas darinya.



Aku tersenyum masam. “Ya..”, jawabku. “Tentu aku sangat mengenalnya. Dia teman baikku, tempat aku bercerita, berkeluh kesah.” Aku terdiam sejenak. Berusaha menemukan kembali suaraku yang terdengar agak serak. “Tidak.. tidak.. semuanya bukan salahmu Rei. Tapi aku..aku…”

Kulangkahkan kakiku mundur beberapa langkah, lalu berbalik memunggunginya.



“Aku terlalu memaksakan perasaanku. Aku yang bodoh, aku yang bersalah.. Kalau pun hatiku hancur sekarang, itu bukan salah siapapun, tapi aku..”



Perlahan-lahan tangan Rei menyentuh pundakku namun langsung kutepis begitu saja.



“Lebih baik sekarang kamu pergi Rei. Ayu pasti bingung kalau kau tidak ada di sana. Tak usah lagi pedulikan aku. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Pergiii!!!!” teriakku.



“Dengarkan aku,” kali ini Rei kelihatan tidak mampu bersabar lagi. Iya mengguncangkan bahuku dengan kedua tangannya. “Aku tidak bisa bohong kalau aku cinta kamu Nina,” katanya, setengah putus asa. “Jadi kau…”



“Lalu apa?” potongku cepat. “Kau mau aku berbuat apa? Kau mau aku memintamu memutuskan Ayu dan mengumumkan hubungan kita di depan orang-orang!”



Rei terdiam. Aku menghela nafas dalam-dalam.



“Aku akan tetap dicap sebagai perebut kekasih temanku. Dan semua masalah akan bertambah rumit. Sekarang dengarkan aku Rei,” kali ini suaraku sudah kembali tenang. “Aku tidak mau mengulangi kesalahan ini lagi. Sebaiknya kita akhiri saja semuanya. Selamat tinggal!”



Aku berlari meninggalkannya sendiri, berdiri terdiam di bawah guyuran hujan dengan perasaaan pilu dan terluka. Mungkin sekarang saatnnya aku mengambil sikap. Melakukan perbuatan yang benar. Daripada mengharapkan kebahagiaan semu dan menyakiti hati semua orang pada akhirnya. Seharusnya aku melakukannya dari semula, karena yang akan merasa sangat terluka adalah batinku sendiri.



Siang itu aku duduk sendirian di dalam toko “Choco Ichigo”, menikmati segelas strawberry milkshake. Kupandangi pesan dari Rei yang ada di ponselku. Waktu berjalan sepuluh menit berselang melewati waktu kesepakatan pertemuan yang dimintanya. Kuaduk-aduk gelasku yang isinya sudah tinggal setengah sambil melihat keluar melewati jendela kaca di sebelah kananku.



Kudengar suara langkah kaki mendekat. Rei datang dengan gayanya seperti biasa dan nampak lebih tenang dibanding terakhir pertemuan kami dua hari yang lalu. Dia tersenyum sekilas kemudian menempati kursi kosong di depanku. Beberapa saat kami terdiam, agak canggung harus memulai pembicaraan dari mana. Kemudian dia memutuskan untuk mengatakan sesuatu, mengatakan segala hal tentang hubungan kami.



Perasaanku juga sudah lebih tenang sekarang. Kudengarkan setiap perkataannya. Yang lebih menceritakan mengenai perasaannya padaku selama ini. Akan tetapi semua itu tidak akan mengubah pendirianku. Kulemparkan senyuman terbaikku padanya. Senyuman tulus sebagai seseorang yang dulu pernah mencintainya. Dia juga balas tersenyum dengan tulusnya padaku.



“Biarkan hubungan ini menjadi rahasia antara kita,” kataku pelan, yang dibalas anggukan lemah oleh Rei.



Rei beranjak dari tempat duduknya. Sebelum pergi, ia mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku.



“Aishiteru…” katanya, yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah kecupan lembut di keningku.



Kupandangi punggungnya menjauh pergi hingga keluar dari “Choco Ichigo”. Sebuah senyuman kembali mengembang di wajahku. Kuaduk kembali milkshake yang tinggal sepertiga di dalam gelasku dan kuminum sedikit lagi. Kuhela nafas dalam dalam, menaruh kepalaku ke atas tanganku yang bertopang di atas meja, menatap langit di luar yang bersinar terang. Warna birunya sungguh menentramkan hatiku. Kelihatannya hujan sudah tidak akan turun lagi.



“Semoga matahari baru segera datang menghangatkan hatiku….,” bisikku pelan.



-END-

Comments

Popular Posts